Ketika perasaan itu muncul kembali, tidak peduli aku sebagai apa dan dia sebagai apa, yang terpenting saat ini aku menyukainya, mungkin tepatnya mencintainya..
~
Hari pertama disekolah baru, rasanya senang, sangat senang. Apalagi kini aku bisa bertemu dengannya setiap hari setelah berpisah selama 1 tahun, ketika itu rasanya hampa.
Aku masih menunggu, ya menunggu. Aku terbiasa menunggu, menunggu untuk dijemput oleh ibuku. Sambil mengisi waktu, ku keluarkan ponselku dari tas. Bosan, kubuka kontak, sekadar iseng ingin mengajak seseorang untuk menemaniku sms-an. BINGO! Ketemu!
Kak Alvin 🙂 | Sent.
Beberapa menit kemudian. Deerrtt.. Deerrrtt… Ada balasan darinya.
Balasan: Apa de? 🙂
Lg apa kak? 🙂 | Sent.
Balasan: Lagi nonton tv aja de, ade? 😀
Lg nunggu dijemput nih, kak. Enak ya yg uda pulang :3 | Sent.
Balasan: Nunggu sama siapa de? 😮
Sendiri kak, biasalah | Sent.
..dan lain sebagainya.
Kemudian aku dan dia mulai berkirim pesan. Beragam sekali hal yang dibahas, mulai dari yang sangat penting sampai hal yang tidak penting sama sekali atau hal konyol, terkadang sampai membuatku cekikikan sendiri dibuatnya.
Ya beginilah, sekitar 80%, yang kulakukan itu sms-an dengannya. Termasuk jika aku sedang menunggu atau tidak ada kerjaan. Dimana saja dan kapan saja mungkin yang kuingat hanya contact name-nya saja. Percaya atau tidak, sering kali ibu menegurku karena keasyikan sendiri mantengin layar ponselku. Tidak sedikit pesan darinya yang kukoleksi, entah dapat bisikan darimana aku sering sekali menyimpan pesannya jika ada kata-kata yang membuat hatiku terlonjak girang. Cekikikan, histeris, nge-dumel, cengok, bingung, loncat-loncatan, dsb, itu semua karena aku sering sekali berkirim pesan dengan dia. Ya, karena dia aku bisa merasakan berbagai macam rasa. Mulai dari yang sangat manis hingga aku lupa bagaimana rasanya tersakiti, sampai rasa sakit yang sulit sekali untuk dijelaskan hingga aku lupa bagaimana rasanya bahagia.
Umurku 15 tahun saat ini (belum genap 16 tahun), setahun lebih muda darinya. Aku sangat menyukai film Harry Potter, film sekaligus novel fantasi yang sangat menakjubkan itu tidak ada tandingannya. Pemain utamanya, Daniel Jacob Radclieffe. Lahir 23 Juli 1989. Yap! Sama seperti halnya Kak Alvin, hanya saja tahun lahirnya itu 1996. Dan semenjak itu angka 23 menjadi angka spesial dan bulan Juli menjadi bulan yang penuh kejutan. Entah sejauh mana namanya, sosoknya, ataupun segala sesuatu yang menyangkut tentang dirinya itu mempengaruhi pikiranku. Percaya atau tidak, ketika aku kelas 8 dan kelas 9, aku banyak menulis namanya. “Joana Jannetta Asprilla, Rezalvin Jati Gunawan.”
Sangat banyak. Di buku tulis, buku paket, papan tulis, meja sekolah, tempat pensil, dsb, hingga aku lupa di mana sajakah namanya ku tulis. Dan semua itu menunjukkan seolah hanya namanya yang hinggap di otakku.
Mungkin ini berlebihan, tapi kurasa aku sedang jatuh cinta seperti halnya yang dirasa para kaum hawa di dunia, dan itu wajar. Tapi separah inikah?
Dulu ketika awal kelas 9, aku dan dia berbeda sekolah. Ketika itu yang kupikirkan adalah bagaimana caranya agar aku terbiasa menjalani hari tanpa melihatnya walaupun sejujurnya aku sedih. Ah, tapi untuk apa aku sedih? Dia sudah ada yang punya, dan aku masih stuck di statusku, single, ya single.
Dulu aku sangat mengharapkan dia, setia dengan ponselku, kalau saja nanti ada pesan darinya. Tapi, nyatanya aku yang lebih sering menyapanya terlebih dahulu, namun aku tidak mempermasalahkannya sama sekali. Saat itu, bagiku, dia membalas sms dan tidak merasa terganggu saja aku sudah cukup senang.
Kehadiranku terasa begitu berarti ketika aku menjadi tempatnya berbagi keluh kesah. Dia bercerita tentang his girlfriend yang begini begitu. Tingkah dan kelakuan gadisnya yang dianggapnya seperti anak kecil, merengek, mudah marah, dsb. Aku bingung dengan gadis itu, lelaki sebaik Kak Alvin ini sering sekali dia buat sedih. Contohnya seperti ini.
Waktu itu langit sedikit mendung dan Kak Alvin masih menunggu gadis itu dihalte depan sekolahnya. Mereka berbeda sekolah, kalau anak-anak remaja menyebutnya LDR-an (Long Distance Relationship). Dia tetap menunggu sampai akhirnya turun gerimis dan kemudian ada pesan masuk ke ponselnya, ternyata dari pacarnya. Aku tidak tahu tepatnya apa isi pesannya, yang pasti aku tahu, gadis itu tidak bisa datang memenuhi janjinya. Kecewanya Kak Alvin, kenapa dia (gadis itu) tidak bicara dari awal sebelum hujan turun? pikir Kak Alvin. Akhirnya Kak Alvin pulang, pasrah dengan air yang turun membasahi rata seluruh tubuhnya. Dia berkata padaku bahwa dia kedinginan. Aku tanya kenapa. Jawabannya, karena dia terus menunggu gadis itu di halte dan membiarkan hujan menyapu rata permukaan kulit tubuhnya.
Ketika itu, tanpa banyak berkata lagi, aku marah-marah sendiri dikamar. Gadis macam apa dia? Berani menyakiti hati kakakku?! Kak Alvin, buat apa kau masih menunggu jika akhirnya gadis itu tidak kunjung datang? Teganya gadis itu sampai membuat Kak Alvin menunggu basah kuyup dan kedinginan sendirian. Kak Alvin, dia itu sudah cukup rela melakukan apa saja. Dan aku tak habis pikir, dia memaafkan begitu saja gadis itu. Lelaki ini bersedia mengalah untuk pacarnya. Aish, gadis ini benar-benar!
Kemudian suatu hari lewat pesan, aku pernah menanyakan sesuatu padanya yang membuatku semakin yakin bahwa Kak Alvin bisa rela melakukan banyak hal untuk seorang gadis yang disayanginya.
Kak, kenapa kaka msh betah sm dia? Pdhl sikap sm kelakuannya kya gitu
Ya nggak apa-apa de 🙂
Ohiya aku tau, karna kaka syg sm Kak Rena, kan? 😮
Seperti itulah 🙂
Kaka pernah ngerasa pengen udahan aja ngga sm Kak Rena? 😮
Hm, pernah de
Trus, kenapa ga diputusin aja?
Biar dia aja yang mutusin 🙂
Loh ko gitu? Pdhl kan biasanya orang beranggapan lebih baik memutuskan drpd diputuskan :3
Nggak tau juga de 😀
Ko, gatau sih, kak? Kaka banyak ngalah loh sm dia tp dia bikin kaka sedih sm bete terus.
Nggak apa-apa, kk udah biasa de 🙂
Biasa apa? Terbiasa ngalah atau dibikin sedih sm bete?
Ngalah mungkin 🙂
Hadeh-_- kaka lg sms-an sm Kak Rena?
Nggak de, kenapa gitu? 🙂
Kenapa ngga kak? 😮
Dianya tiba-tiba ngilang de-_-
Lah, kemana ngilangnya? Coba sms lg aja kak
Udah de
Ga dibales? Misedcall coba 😮
Udah, tp nggak ada jawaban 😦
Nyebelin juga ya, kak-_- Tp kenapa kaka masih aja sabar sm dia?-_-
Nggak tau juga de
Hebat ya kaka, kalo cara aku sih uda kesel bgt, deh-,-
Hm 😦
Kenapa kak? :O
Nggak apa-apa de 🙂
Bingung. Jawabannya hanya singkat, dan malah membuatku semakin bingung. Lihat saja! Bukankah sudah jelas dia sangat sabar sekali menghadapi pacarnya, gadis itu. Rasanya percuma saja bila bertanya padanya dan mengkhawatirkannya, malah semakin menimbulkan tanda tanya besar atas tindakan dan tanggapannya. Gadis seperti itu dapat membuat lelaki ini bertekuk lutut padanya, sampai lelaki ini mencemaskannya dan semakin membuatku yakin bahwa lelaki ini tidak pantas untuk gadis itu karena dia terlalu baik. Hingga suatu saat aku pernah berpikir bahwa aku jauh lebih baik dari gadis itu, bahwa aku pernah merasa lebih pantas untuk lelaki itu. Tapi sepertinya aku harus mengurungkan perasaan yang mulai tumbuh sekitar 3 tahun yang lalu. Saat itu merupakan awal yang tidak kuduga.
Dulu, ya dulu, tiga tahun yang lalu, ketika aku kelas 8 adalah awal aku mendengar namanya. Aku diperkenalkan oleh temanku Vellin yaitu seorang lelaki yang disukainya, Rezalvin Jati Gunawan lengkapnya. Vellin menulis nama lelaki itu di lengan kirinya.
“Siapa nama ditangan kamu itu, Vel?” tanyaku memulai.
Sambil tersenyum, “Oh, ini, hehe. Orang yang aku suka, Jo.” jawab Vellin.
“Hah?! Ganti lagi, Vel? Siapa lagi, sih? Semakin banyak saja kayaknya.” ledekku.
“Memangnya aku ini playgirl apa, ya?! Baru suka saja, kok.” bantah Vellin.
“Hehe, ya, kan cowok yang kemarin kamu ceritain itu beda lagi. Anak kelas mana, sih? Kayaknya aku baru denger.” selidikku.
Vellin nyengir, memamerkan deretan gigi putihnya. “Dia anak kelas 9, hehehe.”
“Kakak kelas, dong?! Waah, cerita atuh cerita!” tuntutku semangat.
Karena tertangkap basah akhirnya Vellin menceritakan semuanya padaku. Semua hal, tanpa terkecuali. Vellin merasa kalau dia telah jatuh hati pada kakak kelas ini. Vellin juga mengatakan kalau lelaki itu baru saja jadian dengan seorang gadis.
Vellin sudah sering berkirim pesan dengan Kak Alvin sebelum Kak Alvin jadian dengan gadis itu. Satu hal yang paling kuingat, Vellin menyukainya karena merasa nyaman dengan lelaki itu. Terkadang juga lelaki itu suka memberinya perhatian. Ketika Vellin curhat tentang hal-hal yang membuat dia bete atau badmood, lelaki itu bisa membuatnya tenang hanya dengan kehadirannya. Tapi setelah dia mengetahui bahwa Kak Alvin sudah menjalin hubungan dengan gadis lain, dia kecewa, bersedih, bahkan dia juga sempat menangis. Vellin baru menyadari kalau bentuk perhatian Kak Alvin itu seperti bentuk perhatian seorang kakak pada adik, tidak lebih. Disitu aku merasa kasihan, temanku sendiri diberi harapan palsu lelaki itu. Rasanya aku tidak terima.
Sampai suatu hari saat aku sedang main ke rumah Vellin untuk menonton film Harry Potter aku melihat ponselnya tergeletak, iseng membuka kontak ponselnya Vellin tanpa sepengetahuannya dan menghafal nomor ponsel lelaki yang dia panggil Kak Alvin itu. Niat awalku ingin menjadi mak comblang seperti di tv-tv, mempersatukan dua sejoli. Tapi sungguh, semua itu diluar dugaanku. Aku kelewatan, bahkan terlalu sering sms-an dengan dia. Awalnya seru, asik, nyaman, terbiasa, suka, kemudian cinta. Ya sesederhana itulah, karena terlalu sederhana hingga membuatnya sangat sulit untuk dijelaskan.
Entah apa yang sedang ku pikirkan hingga membiarkan saja perasaan ini larut semakin dalam. Membiarkannya tumbuh dilorong hatiku dan membuat namanya semakin istimewa untukku. Untuk anak seumuranku hal ini wajar dan sudah lumrah. Sekali lagi, ini wajar dan karena kewajarannya itu bisa membuat siapa saja gila, dilema, galau, dsb, bahkan bisa sampai jatuh sakit atau kemungkinan buruk lainnya.
Aku sudah mengenal Kak Alvin cukup lama. Aku sempat menyinggung tentang Vellin padanya, kukatakan bahwa Vellin menyukainya semenjak mereka satu tempat les. Tanggapannya biasa saja, seolah yang ku bicarakan ini bohongan, sekadar menggoda dia, padahal tidak. Dan kemudian dia alihkan ke topik yang lain. Walaupun akhirnya aku meladeninya.
Aku juga pernah bertanya padanya lewat pesan seputar PHP, ya PHP, Pemberi Harapan Palsu.
Kak, tau php ngga?
Apa itu de?
Pemberi harapan palsu, kak.
Oh iya kk pernah denger. Kenapa gitu de? 😮
Kaka pernah php-in orang ngga? Menurut kaka php itu apasih?
Mm, kayanya nggak tuh de. Kurang tau juga de, kenapa gitu?
Ngga apa-apa kak. Soalnya kebanyakan temen-temen aku cerita kalau mereka itu korban php, aku juga krg ngerti soal itu
Ohehe 🙂
Tapi temen aku pernah bilang ke aku kalau aku ini korban php kak.
Korban php siapa? 😮
Ngga tau juga, aku bingung
Jehaha 🙂
Hanya itu tanggapannya. Aku berpikir kenapa dia terus saja seperti ini? Balasan pesannya singkat dan selalu tidak memuaskan bahkan sering menimbulkan pertanyaan baru di otakku. Lelaki ini, selalu nyaris membuatku frustrasi hanya karena pesan-pesannya. Disatu sisi logikaku berkata ‘buat apa terus mendekati dia? Toh dia pun tidak menganggapmu penting.’ kemudian hatiku berbicara, ‘kalau kamu ingin dianggap penting dihatinya, kamu harus katakan sesungguhnya. Katakan saja kalau kamu menyukainya sudah sejak lama.’
Tapi logikaku menolak, ‘yang benar saja! Masa kamu duluan yang nyatain perasaan? Kamu kan cewek, sedangkan dia cowok. Apa kamu nggak malu? Harusnya dia sadar dengan rasa perhatian kamu padanya. Dasar cowok nggak peka!’
Hatiku berkata lagi, ‘kamu sudah mengenalnya setahun lebih, bukan? Bahkan mungkin sudah 2 tahun, dan kamu pasti mengenal sedikit dari sifatnya. Kamu tahu kan kalau dia itu sudah punya pacar? Tapi apa salahnya kalau kamu menyukainya? Itu sebuah anugrah dan kamu harus menerimanya, sepahit apapun kenyataan. Ingat, kamu hanya mengungkapkan agar dia tahu perasaanmu yang sebenarnya dan jangan berharap sedikitpun untuk jadian dengannya. Kamu hanya tulus ingin mengungkapkan tanpa perlu imbalan. Dengan begitu martabatmu sebagai perempuan baik-baik pun tetap terjaga. Percayalah, dia pasti akan menghargai upayamu untuk mengungkapkannya.’
Logikaku membalas, ‘ya itu memang benar, aku juga setuju. Tapi, apa tak terpikirkan olehmu kalau suatu saat nanti kau akan ditertawakan karena kepolosanmu itu. Lagipula aku yakin, dia pasti cerita pada teman dekatnya atau bahkan pacarnya. Suatu saat kau pasti akan menyesal. Apa kau mau terus-menerus dihantui penyesalan dan rasa malu, Joana? Tidak, kan?’
Hatiku bersahut, ‘kau akan lebih menyesal bila semua telah berlalu. Tak perlu ku jelaskan lebih panjang lagi, kau pasti tahu keputusan yang terbaik.’
Kemudian otakku berputar-putar, mengulang semua yang pernah terjadi sampai akhirnya aku menarik kesimpulan dan mendapatkan jawabannya. “Ya, apa yang kalian katakan semuanya benar. Setelah ku pertimbangkan kemungkinan terburuknya, aku memutuskan untuk mengatakan sejujurnya perasaanku padanya. Aku akan lebih menyesal karena telah membiarkan dia berlalu dihadapanku dan merasa malu karena menjadi perempuan munafik. Suatu saat, di masa depan jika aku bertemu dengannya, aku berharap hubunganku dengannya bisa lebih baik lagi dari ini.” pikirku.
Kemudian aku melakukannya, meraih ponselku dan menyatakan semuanya lewat pesan . Seperti niat awal, aku tidak berharap lebih. Aku hanya berharap dia dapat menghargai pengakuanku tanpa menjauhiku.
Tak beberapa lama pesan masuk ke ponselku. Aku lupa apa tepatnya isi pesan yang dia kirimkan, tapi ketika itu aku ingat kesimpulan yang aku rumuskan, bahwa dia menolakku. Tidak secara terang-terangan dan juga tidak secara pasti. Maksudnya, dia tidak mengatakan ‘tidak’ ataupun ‘iya’ padaku. Gantung. Tapi, aku menarik kesimpulan, kalau dia tidak dapat menjawab dengan kepastian artinya dia sedikit bingung dengan tindakanku ini. Aku mengerti. Aku tidak perlu jawaban-jawabannya yang singkat itu, semuanya sudah jelas. Terima kasih karena berkenan untuk menjawabnya dengan sabar dan terlalu apa adanya, gumamku. Setidaknya hatiku sedikit lega setelah mengatakan ini semua.
Selang beberapa hari, aku mendapat pesan dari nomor tak dikenal, aku ladeni saja siapa tahu ini orang penting, pikirku. Mula-mula dia bertanya siapa pemilik nomor ini, ku jawab ‘Joana’. Kemudian dia mulai bertanya tentang aku dan Kak Alvin. Orang ini to the point sekali, aku merasa seperti diinterogasi. Lama kelamaan pertanyaannya itu seperti memojokkanku. Aku bingung harus menjawab apa, terlebih aku tidak tahu siapa orang ini. Setelah aku membaca ulang pesan-pesannya, aku baru sadar. Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya kalau orang ini adalah pacar Kak Alvin? Darimana Kak Rena tahu nomorku? Bagaimana ini? Aku harus menjawab apa? Jujur atau bohong?
Aku sempat merasa menyesal karena telah menyatakan perasaan padanya. Apa Kak Alvin memberitahukan semua ke pacarnya? Rasa maluku bertambah. Mungkin saat ini dimatanya aku adalah seorang gadis yang kecentilan ke lelaki yang sudah memiliki pasangan, gadis bodoh yang sudah menyatakan perasaan sukanya padahal dia tahu kalau lelaki itu berstatus in relatioship. Saat itu aku mengutuk diriku sendiri.
“Hhhh, mungkin ini bukan yang terbaik untuk semua, tapi untukku ini adalah yang terbaik yang bisa kulakukan.” gumamku.
Ku jelaskan, paparkan, rincikan, detailkan, gambarkan, lukiskan, semuanya yang ingin kuungkapkan dengan seperlunya. Bila Kak Rena bertanya, akan aku coba untuk menjawab apa adanya kenyataan dengan tetap bersikukuh menghormatinya sebagai seniorku saat di SMP. Tapi apa? Akhir-akhirnya dia mencaci makiku dengan sindiran yang halus. Itu seperti menusuk perlahan. Seperti dugaanku, bahkan lebih buruk lagi, dia memandangku sebagai ‘cewek penikung’. Aku hanya bisa berkata, astaghfirullah. Seberat inikah yang kuterima ketika aku mencoba untuk jujur?
Setelah peristiwa itu aku mencoba untuk tidak mengiriminya pesan lagi. Sekedar ingin menenangkan hati dari cacian pacarnya itu. Nyatanya aku tidak bisa. Bukan. Aku tidak mau bila lama tidak mendengar kabar kakak yang aku sukai. Aku menyerah.
Awalnya hanya basa-basi. Karena aku sudah tidak tahan, aku jelaskan padanya. Sama seperti halnya yang kulakukan pada pacarnya, aku menjelaskan tanpa terkecuali agar tidak ada kesalahpahaman, agar semuanya jelas. Aku mencoba tetap jujur sampai akhir. Dia mengerti, dia juga tidak menyalahkanku. Dia berkata bahwa ini bukan salahku, dia mengakui bahwa perempuan pujaan hatinya itu terlalu agresif. Lebih mengejutkan lagi, dia mengatakan bahwa kini mereka sudah mengakhiri hubungan mereka. Putus. Aku mematung menatap layar ponselku. Bagaimana bisa..? Apa yang sebenarnya..? Semua benar karena aku..? Diantara mereka..? Aku mengacaukannya?!
Hatiku diselimuti perasaan nano-nano. Campur aduk, aku sulit untuk menjelaskannya. Tapi bagaimana bisa dia membelaku didepan pacarnya sampai hubungan mereka berakhir seperti ini? Sementara aku memikirkannya, dia malah berkata ‘udah tenang aja, ini bukan salah ade, kok :)’. Lega, terasa tenang sekali membacanya. Untuk memenuhi pintanya, maka kucoba untuk mengalihkan topik. Kemudian semua berjalan seperti biasa.
Setelah 2 atau 3 bulan aku sengaja tidak menghubunginya, kemudian aku mencoba mengiriminya pesan lagi. Entah sejak kapan kata-kata ‘tumben de baru sms :p’ itu membuatku senyum-senyum sendiri. Dengan suka cita aku membalasnya, kemudian terulang lagi kebiasaanku 3 bulan yang lalu. Aku mengerutkan dahi karena dia bertanya sesuatu padaku dengan meminta izinku. Tumben sekali. Ternyata dia bertanya tentang seorang gadis. Dia mengatakan bahwa dia sedang menyukai seorang gadis. Dia mencoba mendekati gadis itu, namun respon yang didapatnya kurang bagus. Dia meminta pendapatku, apa lagi yang harus dia lakukan?
Dengan senyum yang terukir aku menjawab, “Kaka menyukainya? Yakin? Wah, pasti cewek itu beruntung, ya. Kalo kaka yakin ttg perasaan kaka itu berarti ngga ada kata menyerah. Terus aja deketin dia, ya maklumlah kak kalo tanggepannya sedikit cuek atau jutek, namanya juga cewek, pasti sedikit jual mahal. Ada pepatah bilang, batu sekeras apapun pasti akan rapuh juga karena tertetes air terus menerus. Hati sekeras apapun pasti akan luluh juga dengan niat dan usaha. Kalau ada niat harus ada usaha, jadi menurut aku yaa jangan berhenti kak. Semangat kak alviiinn! :D”
Kurang lebih seperti itu jawabanku. Membangkitkan semangatnya supaya tidak menyerah untuk memenangkan hati gadis baru pujaan hatinya itu walaupun nyatanya itu seperti membunuh diriku sendiri. Aku berhasil menyemangatinya, tapi aku gagal menyemangati diriku sendiri untuk tidak menyerah dari Kak Alvin. Finally, i give up..
Bagaimanapun aku tidak bisa berpura-pura menganggap hal ini sepele, aku menyukainya sudah lama. Dua tahun menunggunya terasa percuma. Tapi bukankah awalnya aku tidak berharap lebih? Munafik rasanya bila membantah sepenuhnya, aku pernah sedikit berharap untuk menjadi pujaan hatinya juga walaupun hanya 10%. Menjadi satu-satunya orang yang dia pikirkan dan khawatirkan sepanjang hari meski hanya 0.001 % kemungkinan yang ada. Tapi.. Sudahlah, relakan saja dia, Joana…
Selang beberapa hari, aku baru mengetahui ternyata ada yang lebih pantas mendapatkan perhatiannya itu. Aku mendapat kabar dari teman dekatku bahwa Kak Alvin sudah menjalin hubungan kembali. Lega rasanya, karena dia mendengarkan pendapatku waktu itu. Dia pasti tidak kesepian lagi setelah putus hubungan dengan pacar yang sebelumnya.
Ada beberapa teman dekatku yang mengetahui perasaanku pada Kak Alvin. Mereka kelihatan bingung dan bertanya-tanya kenapa tanggapanku seperti ini saja? Ketika itu aku belum bisa berkata-kata banyak, hanya bisa mengucapkan, selamat!
Mencoba move on! Aku hapus nomornya dikontak ponselku. Tapi, percuma saja karena aku hafal nomor ponselnya. Biarlah, ini usahaku. Semua tentang dia aku simpan jauh-jauh, aku masih belum berani untuk menghapus ‘jejaknya’ secara permanent. Bertekad dengan niat dalam hati. Selalu menghindar bila melihatnya. Buang muka bila bertemu pandang dengannya. Berpura-pura tidak melihat bila dia lewat didepanku. Tetapi ujung-ujungnya aku merasa tersiksa. Ku simpulkan bahwa ini percuma. Dan pada akhirnya mungkin aku menjadi gila dengan semua kepura-puraan ini. Lama-lama ini seperti pura-pura move on!
Aku menyerah, maka ku ceritakan kesulitanku ini pada dua teman dekatku dikelas X, Esther dan Sasi. Sasi lebih banyak mendengarkan, sedangkan Esther lebih bijak memberiku pencerahan.
Suatu hari ketika aku pergi ke kantin sekolah bersama Esther dan Sasi, aku melihat Kak Alvin didekat kantin. Aku berbalik pergi ke kelas mengurungkan niatku untuk ke kantin. Dengan cepat Esther menarik tanganku dan memaksaku untuk tetap kesana. Aku memberontak, heboh sendiri ditengah lapang. Kemudian Esther berkata setengah berbisik, “Sudahlah , tidak perlu menghindar, mau move on, kan? Hadapi saja dia, Jooo, kalau kabur nanti dia berpikir kalau kau masih suka, ayo sini!!” Aku tertegun. Menurut saja.
Sederhana, tapi menyadarkanku sepenuhnya. Ternyata selama ini caraku untuk move on salah. Baiklah, aku akan memulai dari awal. Menerima seluruh kabar baik yang kudengar tentang dia, tidak mengingat-ingat yang sudah lalu, tidak menghindar darinya, tidak merasa malu bila dihadapannya, dan yang terpenting menyibukkan diri agar tidak ada lagi celah baginya untuk mengisi ruang dihatiku.
Kujalani semuanya, kurang lebih selama 3-4 bulan aku sudah terbiasa menerima kabar baik tentang dia dan pacarnya. Padahal dulu ketika aku menerima kabar baik darinya itu berarti kabar itu dapat menyakiti perasaanku sendiri. Tapi sekarang? Oh, tidak kusangka bahkan aku lupa bagaimana rasanya tersakiti dan lupa bagaimana dulu rasanya aku menyukainya. Perasaanku padanya selama 2 tahun, terhapus sudah dengan perjuanganku untuk ‘puasa’ sms-an dengan dia selama kurang lebih 6 bulan.
Bahkan aku sengaja untuk tidak mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Aku ingin menjadi orang yang tega untuknya. Ah, aku lupa. Lagipula sia-sia saja, toh dia tidak akan sadar bahwa aku tidak mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Karena seluruh pusat magnet perhatiannya hanya tertuju pada gadis baru pujaan hatinya itu. Baguslah. Dengan begitu aku tidak akan merasa bersalah.
Tenang sudah bisa move on. Senangnya, aku tidak perlu lagi repot-repot memikirkan sesorang yang tidak memikirkanku sama sekali. Kini hatiku plong, enteng karena tidak ada yang mengisi. Saking plongnya sampai kadang aku suka melamun. Melamun bukan karena banyak sesuatu hal yang kupikirkan, tapi karena aku memikirkan sebenarnya hal apa yang sedang ingin aku pikirkan?
Tapi, enjoy sajalah! Orang pasca move on itu lebih sering tertawa-tawa senang bersama teman dan kerabat. Aku memutuskan untuk kembali menjadi mak comblang. Comeback like before!
Daripada waktu berlalu mubazir, lebih baik aku manfaatkan kesempatan ini untuk bangkit. Terfokus pada tujuan dan target-targetku. Jalanku masih panjang, waktu berlalu cepat dan umurku terlalu singkat. Aku harus menggunakannya sebaik dan semaksimal mungkin. Masih banyak yang bisa kulakukan, hal-hal positif yang lebih penting daripada memikirkan sesorang yang tidak memikirkanmu atau bahkan tidak mengingatmu sama sekali.